MAKALAH TARIAN LIKURAI Dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah”Penulisan Artikel Ilmiah ’’
MAKALAH
TARIAN LIKURAI
Dalam
rangka memenuhi tugas mata kuliah”Penulisan Artikel Ilmiah ’’
Dosen pengampuh: Dr. Suciati, SH., M.Hum

OLEH:
LUKAS
HADRIANUS LETO (150401040025)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
KANJURUHAN MALANG
2017
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Seni tari adalah keindahan ekspresi jiwa manusia yang
diungkapkan berbentuk gerak tubuh yang diperhalus melalui estetika. Salah satu
cara untuk menarik wisatawan menikmati tari –tarian local adalah tarian kreasi
baru yang mempunyai ungkapan artistik yang bebas. makin maraknya pertumbuhan
tari-tarian dalam pariwisata seni. Tari kreasi baru di awal tahun 1970
tepatnya di Bali dengan tujuan megurangi durasi waktu pentas yang biasanya
terbilang lama dan memberikan sentuhan –sentuhan baru namun tetap
mempertahankan keaslihannya.
Dalam tarian baru ini elemen-elemen seni klasik/ tradisional
dipergunakan secara bebas dan kreatif, sesuai rasa estetik individu penatanya.
Kreativitas seperti ini melahirkan garapan tari baru yang inovatif yang
menawarkan gagasan atau nafas-nafas baru yang dapat dikelompokkan sebagai tari
Moderen .
Khusunya dalam tarian likurai sangan diperlukan sentuhan
baru karena durasi aslinya sangat lama yakni bisa sampai tujuh hari. Oleha
karena sentuhan –sentuhan baru dalam tarian likurai sangat diperlukan demi
memenuhi tuntutan kebututuhan pariwisata. Dalam tarian ini penuh dengan
simbol-simbol. Baik simbol dari kehidupan nyata maupun simbol kehidupan alam
lain dan mimpi-mimpi. Tapi dengan memoderenkan tari likurai Tidak hanya
menghibur hati, tetapi dapat memberikan pedoman yang mudah dicerna
tentang keperkasaan dan keberanian. Tarian likurai bukan hanya bisa
menghubungkan nalar dan rasa antar manusia, tetapi juga menghubungkan
alam dan manusia dalam sebuha hubungan yang harmonis.
1.2 Rumusan Masalah
1. Pengertian dan Sejarah Likurai ?
2. Peralatan untuk Tari Likurai ?
3. Penyebaran Tarian Liku Rai?
4. Gerakan –Gerakan Tarian Liku Rai?
5. Makna –makna baru ?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui Pengertian dan Sejarah Likurai
2. Mengetahui Peralatan untuk Tari
Likurai
3. Mengetahui Penyebaran Tarian Liku
rai
4. Mengetahui Gerakan –gerakan Tarian
Likurai
5. Mengetahui Makna –makna baru dari likurai
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Arti dan
Sejarah Tari Likurai
Secara Harafia tarian Likurai berasal dari dua kata yaitu Haliku dan Rai.
Haliku berarti mengawasi, menjaga, melindungi, memelihara, mengambil,
menguasai. Rai berarti Tanah, Bumi, Negeri atau Pulau. Haliku Rai atau kelak
disingkatpadukan menjadi Likurai, boleh diartikan sebagai sebuah aksi atau
tindakan mengawasi, menjaga, melindungi, memelihara dan mengambil tanah atau
bumi, entah tanah itu pada dasarnya milik kita, maupun milik orang lain.
Menjaga tanah milik kita sendiri maupun mengambil, dalam arti menguasai tanah
milik orang lain, tentu tidaklah mudah. Semuanya perlu perjuangan, pertarungan,
pertempuran di medan perang.

Para wanita akan membagi tugas, ada yang,
dibantu beberapa pria, menyiapkan hidangan buat makan bersama (Hadi’a No Hadar Lamak), lainnya
bergegas membawa Tihar masing-masing menunggu di Pintu Gerbang (Kanokar Dato
Babasak Dato) membentuk barisan, dan selepas Hase-Hawaka dari pujangga adat,
para wanita akan segera menabuh Tihar, memberi hormat tiga kali kepada para
pahlawan, lalu secara serentak dan lincah, mereka menabuhnya lebih hidup
sembari meliuk-liukkan tubuh lambang sukacita atas kemenangan perang dan
bergerak menuju Istana Agung (Ksadan,
atau lengkapnya Ksadan Dato Molin Dato) Kerajaan (Fohobot-Raibot), mengiringi para Meo yang menang perang dengan
membawa serta kepala musuh. Kepala musuh ditaruh pada sebuah tempat khusus
terbuat dari batang kayu yang kuat (Turas Ulu), lalu Likurai pun dilanjutkan,
kini dalam bentuk lingkaran, sebagai penghinaan (Hamoe, Hati’as) atas kepala
musuh (Funu) yang selama ini menjadi sumber masalah, namun kini telah
ditaklukkan, sekaligus demi kehormatan (Hatetu-Harani atau Hafoli) para
pahlawan yang berjuang mati-matian membela kebenaran, keadilan dan hidup
bangsanya.
Puluhan bahkan ratusan wanita berpadu dalam Basa Tihar, satu atau dua wanita
lain membawa gong kecil untuk dipukul (Ta’e
Tala) berpadu dengan tabuhan Tihar. Tala dipadukan dengan Tihar
menghasilkan bunyi-bunyian yang membangkitkan sukacita, decak kagum dan bangga
sekaligus menciptakan suasana sakral dan bernas. Para lelaki yang siap
meronggeng pun akan tampil perkasa di kesempatan ini. Bisa dikatakan bahwa
Likurai ini adalah tarian heroik yang pada dasarnya mengandung unsur kekerasan
peperangan (Hatuda Malu), sekaligus syukur atas keberhasilan, kesejahteraan dan
harga diri sebuah bangsa (Husar Binan Rai Timor Tetuk No Nesan, Di’ak No
Kmanek: Bangsa Timor yang bermartabat, berdaulat, berwibawa, adil dan
sejahtera).
2.2 Peralatan untuk Tari Likurai
1.
Tais
Futus adalah sebutan untuk Tenun Ikat warisan Leluhur (dalam bahasa Tetun,
Timor). Dulu kala, cukup dipakai tais futus, tanpa kebaya. Dan itu disebut
Metisusu artinya wanita Timor jaman dulu, cukup melilitkan kain panjang sedikit
di atas dada turun sampai ke pergelangan kaki.
2.
Kaebauk
adalah mahkota terbuat dari perak untuk hiasan kepala orang Timor
3.
Belak
adalah lempengan logam sebesar lempengan disk, terbuat dari perak untuk hiasan
dada orang Timor
4.
Morten
adalah manik-manik berwarna oranye, untuk digantungkan di leher.
5.
Riti
adalah gelang tangan sebesar arloji dipasang di pergelangan tangan sebagai
hiasan untuk wanita
6.
Ina
no Bete sia, artinya Ibu dan para Tuan Putri (Bahasa Tetun)
7.
Tihar
mirip Tifa (Maluku) adalah gendang yang dipakai untuk menari Likurai
8.
Tala
adalah gong yang juga ditabuhkan bersama sejumlah Tihar dalam Tarian Likurai
9.
Haksoke
adalah ronggengan khas pria Timor berpadanan dan berhadapan dengan parawanita
penabuh gendang. Kain selimut untuk pria Timor biasanya los saja, tanpa dijahit
gabung kedua sisinya (sehingga berbentuk
terbuka seperti batik). Kain wanita dijahit gabung kedua sisinya (sehingga
berbentuk seperti kain sarung atau lipa) Sehingga jelas diketahui, mana kain
pria dan mana kain wanita.
2.3 Penyebaran
Tarian Liku rai
Memang,
sejatinya Tarian Likurai ini berasal dari Daerah Belu. Namun kita juga dapat
menjumpainya di Timor-Leste khusunya desa suai loro ( Kamanasa) . Menurut Oang tua (tetua adat) di Suai Loro Abel Ximenes. konon katanya
masyarakat sui loro nenek moyangnya berasal dari keturunan Manu Aman
Lakaan inilah yang kelak memenuhi Tanah Belu, Timor Leste, Dawan, Rote, Sabu,
Larantuka atau Lamaholot di Pulau Flores bagian Timur.” Dengan demikian
tidaklah heran kalau masyarakat Suai kebanyakan menganut paham
matrilineal karena kisah Tuan Putri Laka Loro Kmesak ini. Walau akhirnya dalam
sejarah yang panjang, anak-cucu Manu Aman Lakaan mengembangkan pula sistem
patrilineal dengan mem-faen kotu seorang istri untuk dimasukkan ke rumah suku
lelaki, itu merupakan pengembangan lebih lanjut atau penafsiran terhadap sistem
matrilineal yang sudah ada sejak leluhur, di mana, perempuan yang di-faen-kotu,
memiliki arti bahwa perempuan itu sangat tinggi harkatnya dan sangat disanjung
sehingga suku suami, rela mengorbankan harta bendanya demi mendapatkan
perempuan baru sebagai anggota inti rumah suku sang suami. Dan yang masih
menjadi bukti di suailoro selain tarian liku rai juga bahasa dan adat istiadat
Pada masa
kini, tarian tersebut hanya dipentaskan saat menerima tamu-tamu agung atau pada
upacara besar atau acara-acara tertentu. Sebelum tarian ini dipentaskan, maka
terlebih dahulu diadakan suatu upacara adat untuk menurunkan Likurai atau
tambur-tambur itu dari tempat penyimpanannya yaitu Rumah Adat ( uma lulik.) Oleh karana tetua adat
kemudian digunakan para penari untuk pentas.
2.4 Gerakan –gerakan Tarian
liku rai
Jumlah
peserta tarian likurai tidak dibatasi. Para wanita maupun laki – laki
Timor, tua-muda, besar-kecil, entah berpendidikan tinggi atau pun buta aksara,
baik orang berada maupun kaum sederhana, semua berpadu mengapit tambur di bawah
ketiaknya, lalu membentuk barisan atau lingkaran di antara mereka kadang
belasan wanita, kadang puluhan, kadang malah bisa ratusan wanita, memukul atau
membunyikannya secara dinamis, ritmik, dengan beraneka ragam bunyi atau warna
pukulan, namun tetap menjaga kekompakan, tempo, juga dipadukan dengan gerakan
tubuh, badan meliuk secara beraturan kesana-kemari seiring bunyi-bunyian yang
dihasilkan dari pukulan gendang tersebut. Gendang ini dalam bahasa Tetun Suai
disebut Babadok . Babadok ini pasti dipunyai oleh setiap rumah
tangga di Kabupaten Belu. Para wanita Timor tentu menyimpan Babadok di
rumahnya. Menabuh Babadok disebut Basa-Babadok atau He’uk. Selain
Babadok , satu atau dua wanita lainnya tidak akan membawa babadok ke dalam
lingkaran para penari itu, tetapi membawa Tala. Tala adalah sejenis gong kecil,
terbuat dari logam, ukurannya sebesar piring makan, yang sangat cocok
ditabuhkan berpaduan dengan pukulan Tihar.
Di
samping para wanita--yang menabuh gendang apitan bawah ketiak dengan penuh
ritmik-dinamis gerakan tubuhnya, ditambah lengkingan gong--para lelaki pun,
karena dibakar semangat oleh keramaian bunyi-bunyian Tihar, Tala dan gerak
lincah-gemulai para wanita itu, masuk meronggeng dalam lingkaran. Kadang, para
lelaki tampil lebih heboh daripada para wanita. Sering mereka membawa selendang
kecil berukuran panjang dua meter dan mereka akan berperangai seperti elang
mengepakkan sayap mencari mangsa. Kadang malah mereka membawa kelewang adat, di
mana di pangkal kelewang itu diikat rambut dari kepala musuh yang pernah
ditebas dengan kelewang sakti itu untuk menunjukkan sifat kepahlawanan leluhur
Timor.
Dalam keramaian itu para lelaki peronggeng akan sesekali berteriak, dan teriakanitumenggelegar menambah riuh-rendah suasana pesta, sepertinya para peronggeng itu mau menunjukkan kejantanan mereka di saat perhelatan itu. Ronggengan lelaki mengiringi para wanita penabuh gendang dan gong itu disebut Haksoke. Ketika ronggengan maut lelaki membahana, para wanita pun semakin gesit dan lincah menabuh babadokr dan meliuk-liukkan tubuhnya. Panas cuaca, keringatan, siapa peduli? Kemeriahan inilah yang menjadi suasana puncak sebuah Tarian Likurai. Lamanya tarian ini tergantung pada cuaca, kepiawaian, ketahanan para penari dan peronggeng, ketersediaan waktu dan tempat. Cuaca cerah, Tiharnya banyak, Talanya bergaung, para penarinya aduhai, para peronggengnya gagah, tempatnya luas dan teduh, misalkan di tanah lapang, di bawah rindangnya beringin, tarian bakal begitu lama durasinya. Dulu biasanya ditarikan sekitar tujuh jam, dari sekitar jam sepuluh pagi hingga jam lima sore, selama tujuh hari terturut-turut (Dahur No Liban Kalan Hitu Loron Hitu).
Kini ditarikan sekitar empat sampai lima jam saja dan jarang dilangsungkan selama tujuh hari berturut-turut. Seorang penari tidak otomatis menari selama tujuh jam. Tentu tiap orang akan dengan bijaksana memutuskan kapan ia bergabung dalam lingkaran para penari dan kapan ia harus beristirahat sejenak. Dalam waktu istirahat, tentu acara selingan bagi orang Timor adalah mengunyah sirih pinang, menegur-sapa, berbasa-basi sambil menjadi penonton yang memberi komentar-komentar ringan sebagai penyemangat bagi para penari.
2.5 Makna –makna baru
Kini
Tarian Likurai diberi beberapa makna baru untuk menolong manusia Timor demi
memperjuangkan dan mencapai hidup yang lebih bermartabat:
1. Tarian Likurai ketika dibawakan
dalam upacara keagamaan (biasanya dalam peribadatan Gereja Katolik) mau
menunjukkan bahwa sebagai umat beriman, kita harus tampil sebagai pahlawan yang
selalu berusaha mengalahkan kejahatan dengan selalu memilih untuk berbuat baik
sesuai dengan kehendak Tuhan, demi kebahagiaan kita semua.
2. Tarian Likurai ketika dibawakan
dalam menyambut kunjungan tokoh-tokoh pemerintahan, tokoh masyarakat atau pun
tamu terhormat, mau menunjukkan bahwa sikap saling menghormati adalah sikap
dasariah manusia beradab. Para sesepuh itu layak dihormati dan ini juga
menggugah mereka untuk tampil sebagai pahlawan yang siap membela dan
mengupayakan kemajuan dan kemandirian segenap rakyatnya.
3. Tarian Likurai ketika dibawakan
dalam pelbagai acara syukuran sebenarnya mau menunjukkan kepada kita bahwa kita
patut bersyukur kepada Tuhan yang senantiasa memberkati kita, sekaligus kita
berterima kasih kepada sesama manusia dan alam semesta yang senantiasa menolong
dan menunjang kerja keras kita untuk mencapai idealitas hidup, sesuai yang kita
dambakan bersama: hidup yang aman, damai, bersahabat, adil, sejahtera dalam
keterpaduan hati sebagai sesama manusia, dengan alam semesta dan dengan
kesadaran mendalam bahwa bagaimana pun kita ini makhluk terbatas yang
bergantung sepenuhnya pada kekuasaan Tuhan.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Likurai berasal dari dua kata yaitu
Haliku dan Rai. Haliku berarti mengawasi, menjaga, melindungi, memelihara,
mengambil, menguasai. Rai berarti Tanah, Bumi, Negeri atau Pulau. Haliku Rai
atau kelak disingkatpadukan menjadi Likurai, boleh diartikan sebagai sebuah
aksi atau tindakan mengawasi, menjaga, melindungi, memelihara dan mengambil
tanah atau bumi, entah tanah itu pada dasarnya milik kita, maupun milik orang
lain.
Pada masa
kini, tarian tersebut hanya dipentaskan saat menerima tamu-tamu agung atau pada
upacara besar atau acara-acara tertentu. Sebelum tarian ini dipentaskan, maka
terlebih dahulu diadakan suatu upacara adat untuk menurunkan Likurai atau
tambur-tambur itu dari tempat penyimpanannya yaitu Rumah Adat ( uma lulik.) Oleh karana tetua adat
kemudian digunakan para penari untuk pentas.
3.2 Saran
Seiring dengan adanya perkembangan
globalisasi dimana zaman telah berubah ke era modern. Disini penulis
mengarapkan agar kita sebagai generasi sekarang tidak boleh melupakan budaya
kita. Agar suatu kelak kebudayaan dari daerah atau suku kita bisa menjadi
identitas dari diri kita sendiri. Jadi sebagai anak bangsa kita harus tetap
mampertahankan kebudayaan kita.
DAFTAR PUSTAKA
Direcção Nacional de Estatística, Ministério das Finanças de Timor
Leste,
(citado em 26 de Abril de 2011).
I
Gde Pitana & Putu G. Gayatri “
Sosiologi Pariwisata” Ed. I Andi Yogyakarta 2004
Www.
Wikipedia “ Sejarah Timor-Timur”
Comments
Post a Comment